Martha Ohee mencoba memperkenalkan kerajinan kebanggaan Danau Sentani
itu melalui pameran di Jakarta Convention Center, pekan lalu. Martha
kewalahan karena sebagian hasil kerajinan yang dibawanya langsung
diborong oleh wisatawan dari Jerman.
”Saya mempertahankan
kerajinan lukis kulit kayu karena itu adalah budaya kami. Saya ajar ke
generasi penerus agar mereka melanjutkan. Ini talenta turun-temurun,”
ujar Martha ketika dijumpai di Jakarta.
Dalam upaya menghidupkan
tradisi melukis kayu, Martha tidak sendirian. Sekitar 200 penduduk yang
menghuni 30 rumah di pulau yang terletak di tengah Danau Sentani itu
seluruhnya piawai membuat lukisan kulit kayu. Di masa lampau, khombouw
hanya digunakan untuk bahan pembuat pakaian. Seiring berjalannya waktu,
kulit dari pohon yang batangnya mirip dengan pohon randu ini mulai
dimanfaatkan sebagai kanvas lukisan.
Motif unik
Tiap
mata rumah atau suku di Pulau Asei Besar memiliki motif unik
masing-masing yang dilukis di lembaran-lembaran kulit kayu. Mata rumah
Ohee, misalnya, memiliki simbol khusus bernama rasindale yang merupakan
lambang kemakmuran.
Rasindale hanya boleh dipahat di tiang rumah
kepala suku (ondoavi) dan dipakai oleh istrinya. Dari motif rasindale,
orang-orang akan mengenali istri sang kepala suku. Selain dipahat di
tiang rumah, simbol khusus ini juga dipakai di dayung kole-kole
(perahu).
Motif lainnya disebut yoniki yang dipakai oleh semua
kepala suku di Pulau Asei Besar. Yoniki ini berupa simbol berbentuk
bulat yang melambangkan kebersamaan.
Sampai sekarang, peran kepala
suku di Pulau Asei Besar sangat besar. Kepala suku, antara lain, harus
mengayomi keluarga. Dalam hal pembayaran mas kawin, misalnya, kepala
suku bertugas mengantar makanan dan menerima mas kawin dari pengantin
pria.
Seluruh warga Pulau Asei Besar pasti memiliki dayung
kole-kole karena mata pencarian utama mereka adalah nelayan di Danau
Sentani. Rumah mereka pun masih tradisional dengan tiang-tiang dari
kayu. ”Ada darah melukis yang diwariskan. Sesibuk apa pun, kami tetap
harus melukis di kulit kayu,” ujar Martha.
Martha dan perajin lain
di Pulau Asei Besar mempertahankan pembuatan lukisan dengan cara
tradisional. Tangkai buah kelapa digunakan sebagai kuas lukis. Pewarnaan
alami antara lain memanfaatkan perasan daun untuk warna hijau, arang
periuk untuk warna hitam, dan kunyit untuk warna kuning.
Selain
simbol suku-suku di Pulau Asei Besar, lukisan kulit kayu juga
dipercantik dengan gambar burung cendrawasih atau cicak. Mempekerjakan
tujuh pegawai, Martha juga mulai memodifikasi produk lukisan kulit kayu
yang dijual di kios miliknya.
Dari hanya berupa hiasan lembaran
kulit kayu lukis, Martha berinisiatif membuat sarung telepon seluler,
dompet, topi, dan tas dari kulit kayu. Produk baru ini terbukti digemari
turis asing yang mencari kerajinan kulit kayu langsung ke Kampung Asei
Besar.
Sebelum dilukis, kulit khombouw harus dicuci untuk
menghilangkan getahnya, digetok, lalu dijemur. Proses ini memakan waktu
satu hari. ”Tak perlu bahan pengawet, kulit khombouw bisa awet sampai
yang memakainya bosan. Kulit khombouw juga tidak bisa dimakan rayap,”
kata suami Martha, Jackson Kere.
Pohon langka
Menurut
Jackson, kendala utama yang dihadapi perajin lukisan kulit kayu adalah
makin langkanya bahan baku. Pohon khombouw di Pulau Asei Besar sudah
habis ditebang. Kulit tersebut harus diambil dari pohon liar di hutan.
Jika dibudidayakan, kualitas kulit khombouw akan turun.
Perajin
akhirnya harus mencari kulit khombouw di hutan-hutan yang jaraknya
sekitar 50 kilometer dari Asei Besar. Perajin antara lain mendatangkan
bahan kulit khombouw dari Geryem, Lereh, Senggi, dan Obhec. ”Jauh
sekali. Mereka antar kulit khombouw ke kami,” kata Jackson.
Kulit
khombouw tak tergantikan pohon lain karena kulitnya bisa melar seperti
karet ketika ditarik. Jackson lalu menunjukkan bagaimana kulit khombouw
bisa melar hingga tiga kali lipat ukuran asli setelah digetok dengan
menggunakan bilah besi.
Dalam sehari, perajin bisa membuat satu
hingga dua lembar lukisan kulit kayu berukuran masing-masing 30 x 60 cm.
Ada lebih dari 20 ragam motif simbol lukisan yang ditawarkan. Harga
lukisan kulit kayu beragam dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per
lembar.
Penduduk Pulau Asei Besar akan menggelar dagangan
kerajinan kulit kayu ini di halaman muka rumah mereka begitu wisatawan
asing berdatangan. Terletak di tengah Danau Sentani, Kampung Asei Besar
memang menjadi destinasi utama wisatawan mancanegara.
Setiap
pesawat yang mendarat di Bandara Sentani pasti melintas di atas Kampung
Asei Besar. Dari bandara, wisatawan hanya perlu mengeluarkan ongkos naik
perahu Rp 3.000. Martha lalu menunjukkan gambar Pulau Asei Besar yang
tercetak di balik kartu namanya.
Luas Pulau Asei Besar, lanjut
Jackson, tak lebih besar dari ruang pamer di JCC. Rumah-rumah di pulau
ini masih mempertahankan bentuk tradisional dengan tiang. Selain Asei
Besar, terdapat beberapa pulau lain di tengah Danau Sentani, seperti
Pulau Ajau, Pulau Yobeh, dan Pulau Yonokom.
Asisten Manajer Bisnis
Mikro Kantor BRI Cabang Sentani Erys Parlin Saragih yang mendampingi
Martha dan Jackson ke Jakarta berharap perajin lukis kulit kayu bisa
merambah pasar lokal. Selama ini, mereka hanya mengandalkan kunjungan
wisatawan asing. (Mawar Kusuma)
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar